Menjaga Kehormatan Ulama dan Keaslian Hadits
Menjaga Kehormatan Ulama dan Keaslian Hadits adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 09 Rajab 1446 H / 09 Januari 2025 M.
Kajian Islam Tentang Menjaga Kehormatan Ulama dan Keaslian Hadits
Kajian kali ini masih terkait dengan pembahasan sebelumnya tentang pentingnya menyebutkan, membahas, serta menjelaskan kekeliruan, kelemahan, dan kesalahan para ulama. Pembahasan ini fokus pada kelemahan yang berkaitan dengan hafalan atau disiplin ilmu hadits yang spesifik. Tujuannya adalah menjaga agar hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap murni dan tidak tercampur dengan kelemahan.
Namun demikian, kehormatan para ulama dan harga diri mereka tidak boleh ditumpahkan. Imam Ahmad rahimahullah pernah berkata:
لُحُومُ الْعُلَمَاءِ مَسْمُومَةٌ، مَنْ شَمَّهَا مَرِضَ، وَمَنْ أَكَلَهَا مَاتَ
“Daging para ulama itu beracun. Siapa yang menciumnya akan sakit, dan siapa yang memakannya akan mati.”
Berbicara tentang kejelekan seseorang secara umum, termasuk orang awam, dianggap sebagai ghibah (menggunjing). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
… وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ…
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)
Namun, ada kondisi tertentu di mana membicarakan kesalahan dilakukan untuk tujuan yang lebih mendasar, seperti menjaga keaslian agama dan hadits. Dalam konteks ini, hal tersebut justru menjadi ibadah.
Imam Ahmad Rahimahullah juga pernah ditanya oleh seorang muridnya tentang seseorang yang melaksanakan ibadah seperti puasa, iktikaf, dan shalat, dibandingkan dengan orang yang membahas kesalahan ahlul bid’ah. Beliau menjawab, “Jika seseorang beribadah seperti yang kamu tanyakan, maka manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri. Adapun berbicara tentang kesalahan orang yang melakukan kebid’ahan, manfaatnya kembali kepada seluruh kaum muslimin, sehingga hal ini lebih utama.”
Ketika berbicara tentang kesalahan orang yang menyampaikan agama, tujuannya bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan memberikan nasihat kepada kaum muslimin serta menjaga agar orang tersebut tidak menambah dosanya.
Sebagai contoh, ada seseorang yang menyampaikan sebuah ajaran, tetapi ajaran itu salah. Orang seperti ini perlu dinasihati. Jika ia tidak mau menerima nasihat, dikhawatirkan kesalahan tersebut akan diperjuangkan dan diikuti oleh banyak orang, sehingga menimbulkan dosa yang lebih besar. Orang yang mengajarkan kesalahan juga akan menumpuk dosanya sendiri. Oleh karena itu, salah satu bentuk kasih sayang seorang alim adalah memberitahukan kesalahan orang lain agar kesalahan tersebut tidak diikuti dan tidak berulang.
Banyak contoh terkait hal ini. Sebelumnya, kita telah membahas beberapa riwayat, dan kali ini akan dilanjutkan dengan pembahasan lainnya.
Salah satu riwayat dinukil dari Abdullah bin Mubarak, seorang ulama ahli hadits, pendekar, ahli fikih, ahli zuhud, penulis kitab, dan orang kaya yang dermawan. Beliau pernah bertanya kepada gurunya, Sufyan ats-Tsauri Rahimahullah:
Abdullah bin Mubarak berkata, aku pernah bertanya kepada Sufyan ats-Tsauri, “Wahai guruku, sesungguhnya Abbad bin Katsir adalah orang yang engkau tahu keadaannya. Ketika ia meriwayatkan hadits, yang disampaikan itu hadits yang aneh. Apakah engkau memandang bahwa aku perlu mengatakan kepada orang-orang, ‘Jangan kalian belajar darinya?’”
Sufyan menjawab, “Iya.”
Abbat Ibnu Katsir adalah seorang yang tinggal di daerah Basrah dan meninggal pada tahun 40 Hijriah. Sayangnya, ia dilemahkan oleh banyak ulama. Imam Ahmad Rahimahullah mengatakan bahwa Abbat sering meriwayatkan hadits-hadits yang dusta.
Meskipun ia adalah orang shalih dan ulama, kekurangannya terletak pada kebiasaan meriwayatkan hadits yang tidak shahih. Riwayatnya berbahaya karena jika banyak hadits seperti itu yang disampaikan, maka akan menyebar di tengah kaum muslimin dan dianggap sebagai hadits shahih.
Peringatan ini menjadi pesan penting bagi kaum muslimin. Seseorang yang suka menyampaikan hadits-hadits dusta perlu dihindari ilmunya. Jangan belajar darinya. Jika hal ini terjadi di masa sekarang, mungkin sebagian orang akan beranggapan bahwa sikap seperti itu hanya ingin memecah belah umat, membuat orang lain enggan menghadiri pengajian, atau membenci ulama tertentu.
Namun, tujuan para ulama ketika membahas kesalahan periwayat hadits adalah untuk menjaga agar hadits yang disampaikan tetap terjaga. Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam harus terpelihara dari kedustaan, dari periwayat yang tidak dapat dipercaya riwayat dan agamanya.
Abdullah bin Mubarak melanjutkan, “Maka, setiap kali aku berada di suatu majelis dan disebutkan riwayat Abbad bin Katsir, aku memuji agamanya tetapi aku mengatakan kepada mereka, ‘Jangan mengambil ilmu darinya.’”
Hal ini menunjukkan kehati-hatian Abdullah bin Mubarak dalam menjaga keaslian hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika membahas kondisi Abbat Ibnu Katsir, yang dikenal sering meriwayatkan hadits-hadits palsu, Abdullah bin Mubarak tidak langsung menghancurkan nama baiknya. Ia mengatakan bahwa Abbat adalah orang yang baik agamanya, tetapi sering melakukan kesalahan. Oleh karena itu, tidak pantas mengambil hadits darinya.
Prinsip Kehati-hatian dalam Menyikapi Kesalahan Ulama
Sebagian ulama mengatakan bahwa ketika menilai seseorang yang memiliki kekurangan atau sering melakukan kesalahan, maka tidak perlu memuji-mujinya terlebih dahulu. Misalnya, menyebutkan bahwa orang tersebut shalih, sering umrah, doanya khusyuk, pakaiannya rapi, dan disukai jamaahnya, namun di akhir dikatakan hafalannya lemah sehingga tidak layak dipelajari. Penyampaian seperti ini justru dapat membingungkan kaum muslimin.
Dalam hal ini, ada dua sisi yang harus dipahami. Pertama, ada yang berpendapat bahwa tidak boleh sama sekali membicarakan kejelekan seorang alim. Jika kesalahannya harus disebutkan, maka kebaikannya perlu disampaikan terlebih dahulu agar tidak terkesan mencela. Kedua, ada pula yang berlebihan dengan langsung mentahdzir atau memperingatkan kesalahan seseorang tanpa mempertimbangkan situasi. Ketika seseorang diketahui melakukan kesalahan, ia langsung dihajr, diputus hubungan, dan dianggap sesat. Bahkan, beberapa penuntut ilmu pemula sering kali memperlakukan orang lain seperti ini, hingga tidak lagi berbicara dengan mereka dan mencap mereka sebagai pengikut hawa nafsu. Metode ini jelas merupakan kesalahan.
Tidak semua orang bisa ditahdzir, apalagi jika pendekatan tersebut tidak memberikan manfaat. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan teladan dalam menyikapi kesalahan seseorang dengan cara yang bijaksana dan mempertimbangkan situasi. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terkadang membiarkan orang yang salahnya lebih fatal. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menghadapi seseorang yang menarik bajunya hingga hampir robek, namun beliau bersabar. Dalam kasus lain, ada seorang Badui yang kencing di masjid, dan para sahabat ingin menghentikannya. Namun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
دَعُوهُ، لَا تُزْرِمُوهُ
“Biarkan dia, jangan kalian hentikan.” (HR. Muslim)
Namun, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah bersikap tegas dalam situasi tertentu. Ketika Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘Anhuma membunuh seorang kafir yang telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Yang seperti ini bisa diterima karena yang di depannya adalah orang yang kuat imannya.
Dalam kasus lain, Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu yang tidak ikut serta dalam Perang Tabuk dihukum dengan cara dijauhi. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kaum muslimin di Madinah untuk tidak berbicara dengannya selama lima puluh hari hingga ia bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Penerapan metode semacam ini harus disesuaikan dengan kondisi dan orang yang bersangkutan. Jika seseorang baru belajar dan melakukan kesalahan, lalu ia langsung dihajr atau ditahdzir, maka dikhawatirkan ia tidak akan kembali ke jalan yang benar. Sebaliknya, ia mungkin justru akan mencari tempat yang membelanya, meskipun itu jalan yang salah.
Bagaimana pembahasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak penjelasan yang penuh manfaat ini..
Download MP3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54873-menjaga-kehormatan-ulama-dan-keaslian-hadits/